Pendidik atau lebih dekenal dengan istilah guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, sekaligus profesi yang sangat berat bagi penyandangnya. Bagaimana tidak, dibundak seorang gurulah amanat untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa disematkan, tentu semua orang bersepakat bahwa itu adalah tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan bagi seorang guru ditengah adegium profesi guru yang dianggap masih sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Terlepas dari itu semua, untuk membentuk integritas dan kapabilitas anak-anak generasi penerus bangsa serta para pemimpin masa depan bangsa, tentu harus dididik oleh serangkaian proses pendidikan yang panjang dan itu dilakukan oleh guru. Pendidikan yang mampu membangun karakter kepemimpinan yang baik sebagimana yang dimaksud tersebut sangat ditentukan oleh integritas dan kapabilitas guru, dengan kata lain guru merupakan tulang punggung kejayaan bangsa. Guru yang baik, bangsa akan berjaya, dan guru yang buruk bangsa akan terpuruk.
Merujuk pada Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Peraturan tersebut juga mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kemampuan untuk menghasilkan peserta didik berkualifikasi tinggi. Guru yang kompeten bergantung kepada kebijakan negara. Kebijakan yang berpihak akan melahirkan guru-guru yang layak. Kebijakan yang abai akan melahirkan guru-guru yang lalai.
Menilik lebih jauh dari sudut pandang urgensi dan perang utama seorang guru, bahwa guru memiliki posisi strategis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencanangan guru sebagai profesi oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 04 Desember 2004, memperkuat peran guru dalam pelaksanaan pendidikan. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara eksplisit mengamanatkan adanya pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan sebagai aktualisasi dari sebuah profesi pendidik. Pengembangan Keprofesian berkelanjutan dilaksanakan bagi semua guru, baik yang sudah bersertifikat maupun belum bersertifikat, baik guru formal maupun guru non formal terkhusus guru pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang notabene memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar lagi, yaitu memastikan Anak Usia Dini (AUD) yang berada pada golden age tersetimulasi dengan optimal dan berkembang sesuai dengan harapan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai 2012 menerapkan uji kompetensi awal khususnya bagi guru yang berhak ikut sertifikasi yang dikenal dengan istilah Uji Komptensi Guru (UKG). Mendikbud yang kala itu masih dijabat oleh Muhammad Nuh mengatakan bahwa sertifikasi merupakan sebuah proses melalui pendidikan dan latihan profesi guru, hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa seseorang itu profesional sebagai guru. Oleh karena itu guru sebagai profesi itu harus profesional dan memenuhi seluruh persyaratan dan harus di-certified. Dalam kontek uji kompetensi ada empat ranah yang akan diujikan , yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik, kompetensi institusional, dan kompetensi profesi. Karena itulah, uji kompetensi dilakukan untuk melihat kompetensi seseorang, khususnya guru apakah sudah memenuhi empat ranah tersebut. Artinya entri point dalam konteks UKG tersebut adalah dalam rangka menyiapkan guru profesional yang berimplikasi pada penerimaan tunjangan sertifikasi guru, khususnya yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sedangkan dalam Uji kompetensi berbasis masyarakat melalui sertifikasi kompetensi adalah proses pengujian terhadap seseorang untuk mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dikuasai terhadap standar yang sudah ditetapkan. Sertifikasi kompetensi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi masyarakat, khususnya peserta didik yang telah menempuh kursus dan/atau pelatihan terstruktur agar siap menghadapi persaingan global, sertifikasi kompetensi merupakan bukti otentik terhadap kompetensi yang dimiliki oleh seseorang.
Keuntungan sertifikasi kompetensi memberikan jaminan terhadap pemegangnya maupun pihak lain. Bagi pencari kerja: kredibilitas dan kepercayaan diri meningkat, sebagai bukti bahwa kompetensi yang dimiliki dapat diakui, bertambahnya nilai jual dalam rekrutmen tenaga kerja, kesempatan berkarier lebih besar dan parameter keahliannya jelas. Keuntungan bagi yang sudah bekerjaantara lain: jenjang karier dan promosi lebih baik, meningkatkan akses untuk berkembang dalam profesinya dan pengakuan terhadap kompetensi yang dimilikinya. Bagi perusahaan meningkatkan produktivitas, mengurangi kesalahan kerja, komitmen terhadap kualitas, memudahkan dalam penerimaan karyawan
Bertolak pada kebijakakan direktorat teknis dalam hal ini Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan ketika itu yang menyatakan bahwa Ujian Nasional Kursus Pendidikan Nonformal yang telah diselenggarakan sejak tahun 1977 yang pada saat itu disebut sebagai Ujian Nasional Kursus Pendidikan Luar Sekolah yang diselenggarakan Masyarakat (Ujian Nasional Kursus Diklusemas), akan digantikan dengan uji kompetensi pada tahun 2009. Kebijakan ini merupakan bentuk implementasi dari ketentuan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61 ayat (1), (2), dan (3) dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 85 ayat (1) dan (2), serta Pasal 89 ayat (1) dan (5).
Peralihan dari Ujian Nasional Kursus Pendidikan Nonformal ke Uji Kompetensi memberikan konsekuensi pada bentuk pengakuan sertifikat yang dimiliki oleh lulusannya. Jika lulusan ujian nasional kursus yang memperoleh ijazah nasional sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasi belajar dan atau penyelesaian suatu tingkat/jenjang paket pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Pemerintah, maka lulusan uji kompetensi menerima sertifikat kompetensi sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau Lembaga Sertifikasi Kompetensi.
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa sertifikat kompetensi adalah sebagai bukti bahwa peserta didik telah mencapai kompetensi akhir. Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui oleh Pemerintah sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2008 untuk melaksanakan uji kompetensi maka Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) sebagai lembaga penyelenggara uji kompetensi akan membentuk Tempat Uji Kompetensi (TUK).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70/2008 tentang Uji Kompetensi bagi Peserta Didik Kursus dan Pelatihan dari Satuan Pendidikan Nonformal atau Warga Masyarakat yang Belajar Mandiri sebagai penjabaran dari Undang – Undang Nomor 20/2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dimaksudkan agar berbagai lapisan masyarakat khususnya peserta didik kursus dan pelatihan diharapkan memiliki sertifikat kompetensi yang diperoleh melalui uji kompetensi. Dengan demikian mereka yang memiliki sertifikat kompetensi dapat menunjukkan kompetensinya dalam bekerja dan memiliki daya saing tinggi.
Berdasarkan Renstra tahun 2015 – 2019 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat pada tahun 2016 menargetkan peserta didik yang tersertifikasi sebanyak 108.000 orang. Target ini bisa tercapai jika peserta didik yang belajar reguler pada Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), peserta didik penerima program pendidikan kecakapan kerja, dan warga masyarakat yang belajar mandiri mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) dan/atau lembaga pengujian/sertifikasi lainya yang dibentuk atau diakui instansi/lembaga pemerintah.Sampai saat ini jumlah TUK yang baru terbentuk sebanyak 875 lembaga dan jumlah peserta uji kompetensi mencapai 158.947 orang serta jumlah lulusan sebanyak 104.337 orang. Jumlah TUK yang ada ada dirasa masih kurang apabila disandingkan dengan jumlah lembaga kursus yang mencapai 26.846 lembaga. Sampai dengan tahun 2014 jumlah TUK yang ditargetkan sebanyak 1.091 lembaga. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas, melalui UPT yang sejauh ini tersebar di 22 provinsi yang ada di seluruh Indonesia selalu berupaya meningkatkan meningkatkan layanan dan kualitas uji kompetensi melalui beberapa cara. Salah satu di antaranya adalah memberikan bantuan biaya warga yang secara ekonomi tidak mampu. Selain itu Ditjen PAUD dan Dikmas juga mendorong LSK dan lembaga kursus untuk membentuk TUK di daerah yang membutuhkan serta memberikan bantuan guna sosialisasi uji kompetensi sekaligus meningkatkan kualitas sarana dan prasarana yang ada.
Menilik jumlah dan keberadaan TUK di Papua, provinsi paling timur Indonesia tentu sebagai bagian dari pelaku pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat tentu sangat miris dan prihatin, betapa tidak jumlah TUK yang ada di Papua sangat minim. Hingga tahun 2018 di Papua keberadaan TUK hanya ada dua lokasi, satu TUK Bidang tata rias dan kecantikan yaitu TUK SMK Negeri 1 Jayapura, dan satu TUK sementara bidang komputer yaitu di LKP Sentra Anugrah. Sementara di awal tahun 2019 baru di bentuk dan dilakukan bimbingan teknis TUK Pendidik PAUD di PAUD Amanda Papindo, yang merupakan lembaga PAUD binaan sekaligus labsite BP-PAUD dan Dikmas Papua. Merujuk pada kondisi tersebut tentu bisa disimpulkan bahwa di Papua secara eksplisit masih sangat minim dari sisi perhatian pemerintah terhadap upaya-upaya dalam penjaminan mutu dan kualitas kompetensi yang dimiliki oleh masayarakat atau warga belajar pasca mereka mengikuti kursus atau pendikan dan latihan. Hal ini terlihat dari minimnya infrastruktur dan/atau instrumen-intrumen yang digunakan dalam rangka penyelenngaraan uji kompetensi. Tentu kondisi-kondisi tersebut menjadi daftar panjang pekerjaan rumah yang harus segera selesaikan oleh semua stakeholder terkait, khususnya pemerintah daerah baik ditingkat kabupaten ataupun kota serbagai bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 02 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
Kondisi tersebut diatas tentu menjadi kontradiktif jika dikomparasikan dengan agenda PBB terkait Pengembangan Anak Usia Dini melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDG). Kemudian lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pada tahun 2030, menjamin bahwa semua anak perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap perkembangan dan pengasuhan anak usia dini, pengasuhan, pendidikan pra-sekolah dasar yang berkualitas, sehingga mereka siap untuk menempuh pendidikan dasar. Peraturan presiden diatas sesuai dengan gerakan PAUD berkualitas yang dicanangkan oleh Ibu Negara RI Ibu Iriana selaku Bunda PAUD Indonesia pada tahun 2015. Salah satu kebijakan dan strategi yang ditempuh oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meningkatkan akses layanan PAUD Berkualitas adalah dengan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi dari pendidiknya. Pengukuran kompetensi pendidik dilakukan melalui uji komptensi
Menilik lebih jauh bahwa fakta dilapangan menggambarkan bahwa pendidik atau guru PAUD di Papua sejauh ini yang telah mengikuti uji kompetensi atau yang dikenal dengan istilah UKG adalah hanya mereka guru-guru pada lembaga PAUD formal (Taman Kana-Kanak/Roudhotul Atfal) yang setatusnya ASN saja karena hal ini menjadi kewajiban yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan hak atas tunjangan profesi atau sertifikasi guru. Sedangkan untuk pendidik PAUD pada jalur non formal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pos Paud dan layanan sejenisnya) hampir mayoritas belum mengikuti uji kompetensi, jangankan mengikuti uji kompetensi mengikuti diklat PAUD berjenjang saja mayoritas para pendidik PAUD belum semua padahal hal ini menjadi sebuah keharusan bagi pendidikan PAUD yang dari sisi kualifikasi pendidikannya non PAUD atau non kependidikan,masih banyak pendidik paud yang berijazah SMA terutama di daerah-daerah 3T Papua, sehingga tidak hanya dari sisi kompetensi aja mereka harus diikutkan dan didorong tetapi dari sisi kualifikasi, khususnya yang menyangkut PAUD juga harus dan wajib dipenuhi.
Peningkatan kualifikasi dan kompetensi pendidik PAUD, khususnya bagi bunda-bunda PAUD pada lembaga non formal yang notabene masih rendah harus menjadi prioritas utama. Bagimana mungkin seorang guru utamanya guru PAUD mampu mengemban amanah untuk mennstimulasi tumbuh kembang anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal dimasa keemasanya sedangkan dari sisi kualifikasi dan kompetensi guru PAUDnya saja belum memenuhi. Dari sisi personal guru harus memahami akan pentingnya peningkatan kualifikasi dan kompetensi, sehingga ketika pemahaman ini tertanam dalam benak setiap guru-guru PAUD tentu akan menjadi trend yang positif bagi penyelenggaraan PAUD di Papua khususnya. Kemudian dari sisi peran pemerintah adalah memberikan fasilitas dan kesempatan seluas-luasnya bagi upaya-upaya peningkatan kualifikasi dan kompetensi yang dimaksud tersebut melalui mekanisme-mekanisme formulasi kebijakan dan program yang berbpihak pada guru-guru PAUD khusunya pada lembaga pendidikan non formal.
Program-program yang linier dengan upaya-upaya tersebut adalah seperti program beasiswa pendidikan bagi guru-guru PAUD yang non S1 PAUD dan Non Kependidikan, atau juga bisa diconversikan dengan program pendidikan dan latihan PAUD berjenjang (Tingkat Dasar, Lanjutan dan Mahir). Sedangkan untuk peningkatan kompetensi sendiri perlu diberikan program-program penunjang yang relevan seperti pelatihan-pelatihan penulisan dan penyusunan bahan ajar tentang PAUD dan lain sebagainya, yang tidak kalah urgent dan mendesak adalah pembentukan Tempat Uji Kompetensi (UJK) bagi pendidik PAUD minimal satu lokasi di setiap kabupaten yang ada Papua, mengingat clusster goegrafis Papua yang cukup sulit dijangkau. Pembentukan TUK tersebut akan menjadi hal yang linier bagi upaya dan program-program peningkatan kualifikasi dan kompetensi yang telah dilakukan, disamping itu hal ini akan berdampak positif pada personal guru yaitu lulusan uji kompetensi akan menerima sertifikat kompetensi sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi dan atau TUK yang telah terlinsensi oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi. Dalam konteks kepentingan yang lebih besar adalah uji kompetensi bagi guru PAUD di Papua pada khsusnya dan di Indoensia pada umumumnya merupakan bagian dari iktiar dalam rangka mendukung salah satu kebijakan dan strategi yang ditempuh oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Pendidika Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat untuk meningkatkan akses layanan PAUD Berkualitas.
Oleh: Tri Fatchur Rohman, S.Pd
Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas Papua