PROGRAM DIKMAS BERBAU SAMPAH
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2019 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, memantik ribuan pegiat Pendidikan Nonformal (Pendidikan Masyarakat) berkumpul di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Rabu 8 Januari 2020.
Aksi tersebut merupakan sebuah upaya untuk mempertanyakan status kelembagaan Satuan Pendidikan Nonformal yakni Pusat Kegiatan Belajar Masayarakat (PKBM), Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), Satuan Pendidikan Nonformal Sanggar Kegiatan Belajar (SPNF SKB) dan Satuan PNF sejenis lainnya pasca terbitnya kebijakan tersebut. Selama ini Satuan PNF tersebut merasa memperoleh pembinaan yang baik dari Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat sebagaimana amanat dari kebijakan sebelumnya yakni Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan yang diturunkan ke Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Meskipun belum terimplementasikan, Perpres Nomor 82 Tahun 2019 tersebut diproyeksikan kurang mendukung program Pendidikan Nonformal atau Pendidikan Masyarakat dikarenakan nomenklatur “PNFI (Pendidikan Nonformal dan Informal)” atau “Dikmas (Pendidikan Masyarakat)” tidak terakomodir pada kebijakan baru tersebut.
Transformasi Pendidikan Masyarakat
Geliat pendidikan masyarakat sudah ada sejak zaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan semakin nampak terang benderang keberadaannya pada awal kemerdekaan. Pendidikan Masyarakat secara gamblang menjadi program strategis dan dijadikan salah satu unit organisasi dari Kementerian P & K yang mengakar dari tingkat pusat hingga tingkat daerah pada tahun 1945. Adapun program-program Pendidikan Masyarakat yang diluncurkan pada kurun waktu tersebut adalah : 1) Pemberantasan Buta Huruf; 2) Penyelenggaraan Kursus dan Keterampilan; dan 3) Perpustakaan Rakyat.
Pada tahun-tahun selanjutnya yakni dari tahun 1975 – 2019, Pendidikan Masyarakat semakin melebarkan sayapnya karena dipunggawai khusus oleh satu unit organisasi setingkat eselon I dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meskipun pernah terjadi perubahan nomenklatur yakni PLS (Pendidikan Luar Sekolah), PNF (Pendidikan Non Formal) dan Dikmas (Pendidikan Masyarakat).
Pendidikan masyarakat semakin banyak wujudnya dalam pembangunan manusia Indonesia, adapun wujud tersebut nampak jelas terpatri dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2003 tersebut menegaskan bahwa Program Pendidikan Nonforaml atau Pendidikan Masyarakat terdiri atas Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Kecakapan Hidup, Pendidikan Kepemudaan, Pendidikan Pemberdayaan Perempuan, Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan Kerja, Pendidikan Kesetaraan serta pendidikan lain yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Program Pendidikan Masyarakat Mengubah Sampah Jadi Emas
Setiap manusia di muka bumi tentunya ingin terlahir dalam keadaan yang baik tanpa kekurangan satupun. Namun, dikarenakan faktor ekonomi, sosial, budaya, geografi dan lain sebagainya sehingga terdapat manusia-manusia yang kurang beruntung dalam menjalani hidupnya. Terkadang mereka diberikan stereotip “sampah masyarakat” oleh sebagian masayarakat karena dianggap tidak dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan (tidak berguna).
Ketidakadilan distribusi sekolah dan guru, masih belum tersambungnya jalan-jalan ke pelosok Negeri, kurangnya kepedulian orangtua mengakibatkan provinsi Papua selalu bertengger di urutan pertama pada peringkat penyandang tuna aksara Indonesia dari tahun ke tahun dan seakan-akan susah terlepas dari mata rantai tuna aksara. Sejak zaman sentralisasi hingga otonomi, berbagai upaya dilakukan Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk meminimalisir dampak dari keadaan tersebut.
Sebagai contoh pada tahun 1990an, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Jayapura sebagai unit terkecil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pembinaan langsung terhadap mama-mama papua penyandang tuna aksara yang merupakan kaum urban. Tidak hanya mengajarkan baca tulis dan berhitung, mama-mama tersebut juga diajarkan bagaimana cara menjual hasil pertanian mereka dengan benar. Semula mama-mama tersebut menjual tanpa memperhitungkan untung dan rugi serta masih membingungkan pembeli karena menggunakan isyarat tangan dalam memberikan harga. Pelan tapi pasti, program yang diselenggarakan SKB tersebut berhasil dan mama-mama papua tersebut bisa berjualan dan berkomunikasi yang baik dengan pembelinya.
Masih pada sekitar tahun 1990an, Pendidikan Masyarakat berkamuflase dalam pemberdayaan perempuan melalui kegiatan pelatihan dan keterampilan terhadap wanita tuna susila / PSK (Pekerja Seks Komersial) di kawasan lokaliisasi Jayapura yang diselenggarakan oleh SKB Jayapura. Adapun jenis keterampilan yang diajarkan pada waktu itu adalah menjahit dan juga senam. Dampak dari kegiatan tersebut, terdapat WTS / PSK yang meninggalkan pekerjaan lamanya dan mencari nafkah dengan cara yang benar berbekal keterampilan menjahit yang telah dimiliki
Pada era otonomi yakni sekitar tahun 2000an, eksistensi Pendidikan Masyarakat semakin beragam. Program-program Pendidikan Masyarakat tidak hanya diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan juga LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan) yang merupakan wadah dari komunitas masyarakat ikut terlibat dalam pembangunan manusia melalui program pendidikan masyarakat.
Sebuah kisah alumni Pendidikan Kesetaraan Paket C setara SMA dari Kabupaten Merauke juga dapat dijadikan bukti bahwa Program Pendidikan Masyarakat sama halnya “program daur ulang sampah”. Menurut penuturan salah satu ketua PKBM dari Kabupaten Merauke yang menyelenggarakan program Pendidikan Kesetaraan di Lembaga Pemasayarakatan (Lapas) Kabupaten Merauke, programnya berhasil menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri anak-anak Lapas setelah berhasil mengikuti pendidikan Kesetaraan Paket C dan memperoleh Ijazah setara SMA. BIasanya eks narapidana masih menimbulkan keresahan dan kekhawatiran pada masyarakat, namun dengan ijazah Paket C yang dimiliki eks napi ini dapat diterima bekerja pada sektor swasta sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa lalu.
Cerita alumni Paket C dari Negeri atas awan Kabupaten Tolikara tidak kalah menariknya. Selain ada yang berhasil melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri Universitas Cenderawasih, adapula yang bekerja pada instansi Pemerintahan Daerah dengan bekal ijazah Paket C setara SMA. Kurangnya jumlah Sekolah, menggerakkan hati seorang Nep Kogoya (Ketua PKBM Iliniklonik Karubaga) untuk memanfaatkan lahan rumah sempitnya untuk memberikan layanan pendidikan yang seluas-luasnya tanpa pamrih kepada masyarakat Karubaga. PAUD, Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B dan C), Keaksaraan Fungsional semuanya diselenggarakan secara terbatas (apa adanya) demi meningkatkan mutu sumber daya manusia Papua. Berkat dari program-program yang diselenggarakan, terdapat anak-anak karubaga yang dapat memberikan pelayanan terhadap masyarakat melalui bekerja pada instansi Pemerintahan Daerah.
Penggalan-penggalan cerita diatas, menitipkan pesan pada kita bahwa apabila program Pendidikan Masyarakat (Dikmas) dikelola dengan sepenuh hati, maka akan terlahir lulusan-lulusan yang berguna bagi Bangsa dan Negara. Namun, sebaliknya apabila program-program Pendidikan Masyarakat diselenggarakan karena untuk memperkaya pengelola atau pihak-pihak tertentu, maka lambat laun program Pendidikan Masyarakat akan dianggap program tidak berguna atau seperti sampah.
Jayapura, 31 Januari 2019 (Suharman)
Ini berita atau artikel opini???