Akhir-akhir ini, wacana kemiskinan dan pengangguran senantiasa menjadi bahan perbincangan paling mengemuka. Wacana ini senantiasa menjadi isu strategis dan komersil, baik untuk tujuan politis maupun tujuan lainnya.

Tidak dipungkiri, kedua persoalan  ini merupakan persoalan pelik yang hingga kini menjadi momok yang paling menakutkan dalam proses pembangunan di Indonesia. Kemiskinan dan pengangguran adalah penyumbang terbesar masalah ekonomi dan keamanan. Kemiskinan dan pengangguran senantiasa menjadi penentu tingkat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Secara ekonomi, solusi untuk mengatasi persoalan kemiskinan adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (diatas 7% pertahun). Persoalan pengangguran pada dasarnya disebabkan oleh:

  1. Kurangnya lapangan kerja,
  2. Tidak sinkron antara kompetensi dunia kerja dengan kompetensi pencari kerja.

Oleh karena itu, solusi alternatif mengatasi pengangguran adalah dengan menciptakan lapangan kerja dan memberikan keterampilan kepada pencari kerja yang sesuai dengan kompetensi kebutuhan dunia kerja.

Berbagai cara dan strategi telah coba dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah melalui pemberian bekal keterampilan yang dilaksanakan melalui pelatihan/kursus. Contohnya adalah melalui program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH).

Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) adalah program pendidikan dan pelatihan yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan hidup (Life Skill). Menurut Broling (1989) “Life Skills” adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri. Broling mengelompokkan Life Skills kedalam tiga kelompok kecakapan yaitu, kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), kecakapan pribadi/sosial (personal/social skill) dan kecakapan untuk bekerja (occupational skill). PKH diberikan sebagai upaya memberikan keterampilan kepada para pencari kerja.

Pada BP-PAUDNI Regional VI, PKH dilaksanakan dengan sistem kemitraan. Kemitraan dengan menggandeng training provider (pelaksana pelatihan) dan end-user (pemakai lulusan). Pelaksanaan sistem kemitraan diarahkan sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat. hal ini sejalan dengan sasaran pelaksanaan program PKH yaitu masyarakat marginal (miskin, penganggur, dan tidak berkemampuan). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa PKH adalah untuk pemberdayaan.

Persoalannya, sejauh mana efektifitas PKH dalam memberdayakan masyarakat marginal?

Pemberdayaan merupakan kata kerja yang dibentuk dari kata dasar daya yang berarti kuat/kekuatan. Maka pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya memberikan kekuatan kepada masyarakat. Randy. R. Wrihatnolo dan Riant Nugraha Dwidjowijono, dalam buku Manajemen Pemberdayaan, sebuah pengantar dan panduan untuk pemberdayaan masyarakat (2007) memberikan definisi pemberdayaan adalah proses pemberian kekuasaan/memampukan manusia sehingga terlepas dari ketidak mampuan (disadvantaged group) sehingga memiliki kebebasan (freedom) untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan. Fokus perhatian persoalan pemberdayaan masyarakat adalah pemberian kekuasaan kepada masyarakat kurang beruntung seperti miskin, Orang Dengan Kecacatan (ODK) dan Komunitas Adat Terpencil (KAT).

Suharto (2007) memberikan pengertian pemberdayaan sebagai tujuan dan sebagai proses. Sebagai tujuan, pemberdayaan dipandang sebagai hasil yang diinginkan yakni masyarakat yang berdaya, mempunyai kekuasaan dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhannya, menentukan dikap dan mengambil keputusan. Sedang sebagai proses, pemberdayaan adalah suatu tindakan/kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memapukan masyarakat.

Masyarakat marginal sebagai sasaran utama proses pemberdayaan, adalah kelompok masyarakat yang tertinggal, terdeskriminasi dan kehilangan kesempatan baik oleh faktor internal maupun eksternal.  Dalam buku membangun masyarakat memberdayakan rakyat, suharto (2007) mengelompokan kelompok lemah/tidak berdaya (disadvantaged group) menjadi beberapa kelompok yaitu:

  1. Kelompok lemah secara struktural, baik secara kelas, gender maupun etnis.
  2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing,
  3. Kelompok lemah secara personal yakni mereka yang mengalami masalah pribadi/personal.

PKH yang dilaksanakan oleh BP-PAUDNI Regional VI dengan menerapkan sistem kemitraan harus diakui telah mampu mendayakan masyarakat marginal. Dalam arti mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada kelompok masyarakat, bahkan telah menjamin keterserapan pada dunia kerja dan membentuk usaha mandiri/kelompok.

Namun satu hal yang mungkin terlupa. Pelatihan keterampilan sampai pada penempatan kerja dan bahkan membentuk usaha oleh peserta didik, tentu tidak serta merta menjamin kesejahteraan masyarakat sasaran (marginal), apalagi menjamin kesejahteraan masyarakat sekitar. Mengapa?

Sebagai ilustrasi:

Kita melatih masyarakat untuk memancing disertai memberikan pancing. Kita tidak memberikan ikan tetapi mengajak mereka untuk mencari dan mendapatkan ikan sendiri. Jika kita tidak mengajari mereka mengolah dan memanfaatkan ikan (selain untuk konsumsi), tentu mereka tidak akan pernah sejahtera. Mengapa? Karena yang ada dalam benak mereka adalah mendapatkan dan menghabiskan ikan tersebut.

Kegiatan PKH kita hanya memberikan keterampilan dan memperkerjakan masyarakat sasaran. Kita tidak pernah mengajarkan kepada peserta tentang nilai dan kemanfaatan uang. Akibatnya, mereka bekerja, dapat uang dan menghabiskan uang tersebut. Jika benar demikian, maka bagaimana kita menjamin kesejahteraan mereka? Kita tentu tidak ingin dikatakan sebagai institusi yang mengentaskan pengangguran tetapi menciptakan para pemabuk dan masyarakat konsumtif. Disinilah peran pendampingan bermain. Jika kita hanya melatih dan memperkerjakan, maka tentu akan terkesan sia-sia karena tidak ada perubahan berarti di masyarakat. Maka tugas kita tidak hanya sampai mereka bekerja dan berusaha, tetapi mutlak terus didampingi agar mampu memanfaatkan uang dan pendapatan yang diperoleh. Dengan demikian mereka tidak hanya memakmurkan diri, tetapi juga mampu memberi kemakmuran bagi masyarakat sekitar.

Oleh karena itu, sangat tepat jika kita mengadopsi proses pemberdayaan yang dikemukakan oleh Randy. R. Wrihatnolo dan Riant Nugraha Dwidjowijono (2007). Proses pemberdayaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

2016-08-01-bagan-pemberdayaan

Jika hal ini benar-benar kita terapkan, maka kita akan jauh lebih dekat dengan kualitas masyarakat berdaya yang kita impikan. Kita tidak hanya mengentaskan pengangguran dan menciptakan masyarakat konsumtif, tapi benar-benar masyarakat yang mampu berdaya (memiliki pekerjaan dan pendapatan) serta mampu mengolah dan memanfaatkan pendapatannya untuk kegiatan yang berguna. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan memberikan imbas berupa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.

RUSTAM EFENDI

Staf BP-PAUD dan Dikmas Papua


     
  

Leave a Reply