DRS. HADIYANA, MM

WIDYAPRADA AHLI MADYA, BPPAUD DAN DIKMAS PROVINSI PAPUA

CP: 082248800508, Surel: hadi.yana1708@gmail.com

Pendidikan, sejak dahulu kala, selalu dianggap sebagai bagian terpenting dalam pembentukan karakter dan pengetahuan/keterampilan manusia. Singkatnya, pendidikan dianggap sebagai hal utama yang harus diperhatikan jika berbicara pengembangan sumber daya manusia. Tak salah dan memang tidak bisa dipungkiri! Kenyataan bahwa Negara yang memiliki kualitas pendidikan baik, mampu menjadi Negara yang “baik” dari kualitas SDM, ikut mendorong keyakinan tersebut. Contoh saja, 10 negara dengan kualitas pendidikan terbaik, seperti dilansir dari US News, berdasarkan survey The Wharton School dari University of Pennsylvania pada tahun 2021, yaitu: (1) Amerika Serikat, (2) Inggris, (3) Jerman, (4) Kanada, (5) Prancis, (6) Swiss, (7) Jepang, (8) Australia, (9) Swedia dan (10) Belanda.1

Pendidikan di Indonesia, dewasa ini semakin mendapat porsi yang lebih besar. Dari sisi anggaran misalnya, Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 49 (1) telah mengamanatkan anggaran pendidikan, selain untuk gaji dan pendidikan kedinasan adalah sebesar 20% dari APBN dan APBD. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah telah semakin memberikan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan.

Diluar dari itu, perkembangan dunia dan zaman yang demikian cepat, ikut memberikan pengaruh pada dunia pendidikan. Hal ini memunculkan berbagai permasalahan dan mendorong terjadinya inovasi dalam menjadawab permasalahan tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bersama, system pendidikan di Indonesia membagi jalur pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu jalur pendidikan formal, non formal dan informal.

Menurut Syafaruddin Anzizhan dalam bukunya “Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan”, menyatakan bahwa persoalan dunia pendidikan khususnya yang ada di sekolah semakin kompleks. Hal ini terlihat dari angka putus sekolah, tinggal kelas dan motivasi belajar yang rendah. Serta itu semua terjadi disebabkan karena berbagai faktor misalnya keterbatasan biaya, lemahnya daya akses, pergaulan atau lingkungan. Bahkan Ivan Illich2 pernah menyampaikan pandangannya menganggap sekolah formal memasung kebebasan dan perkembangan manusia, karena manusia memiliki ha katas dijjaminnya kepribadian dalam pendidikan.

Seiiring berkembangnya teknologi dunia dihebohkan dengan presepsi revolusi industri 4.0 yang mana nantinya akan memberikan perubahan, termasuk di bidang pendidikan. Kondisi pendidikan di era revolusi industri 4.0 menurut Muhammad Yamin dan Syahril bahwa: “Di Era Rovolusi industri 4.0 lembaga pendidikan tidak hanya membutuhkan literasi lama yaitu membaca, menulis dan menghitung. Akan tetapi, literasi yang dibutuhkan oleh lembaga dapat dibagi menjadi tiga yaitu (1) literasi data, (2) literasi teknologi, dan (3) literasi manusia”

Jika tidak mampu berinovasi, dapat dipastikan akan tertinggal. Untuk bisa mengimbangi persoalan tersebut, tahun 2019 pada saat memperingati hari guru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mas Nadiem Makarim mencetuskan konsep pendidikan dengan sistem merdeka belajar. Konsep tersebut menurut Mas Menteri bukan dengan membebaskan atau menghentikan kegiatan belajar, namun disebut sebagai kemerdekaan berfikir. Artinya membebaskan siswa dalam berfikir dan nilai bukan lagi menjadi acuan, namun ketrampilan, kempetensi, karakter dan kepribadian menjadi fokus utamanya.

Oleh karenanya, konsep pendidikan merdeka belajar merupakan relevansi dari perkembangan era revolusi industri 4.0. Tidak hanya penekanan pendidikan formal, namun juga perlu penyeimbang dari faktor eksternal yaitu pendidikan nonformal untuk meningkatkan kemampuan skill, ketrampilan dan karakter dari peserta didik.

Konsep Merdeka belajar, dapat dikatakan berangkat dari Teori Kontruktivisme. Teori ini lahir dari gagasan Piaged dan Vigotsky yang memandang pengetahuan merupakan hasil kontruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Teori ini juga memandang bahwa dalam belajar dan pembelajaran secara aktif mengonstruksikan pengetahuan mereka sendiri. Tidak hanya itu saja, teori kontruktivistik dalam mengimbangi kondisi lingkungan, menekankan bahwa manusia mengkontruksikan objek dan menghubungkan dengan apa yang dirasakan berdasarkan kondisi lingkungan.

Menurut Suhardjono terdapat lima proposisi yang menjadi pegangan paham kontruktivisme dalam kaitannya dengan proses belajar sebagai berikut:

  1. Belajar merupakan proses pemaknaan informasi baru, belajar dapat dengan penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, kegiatan kolaboratif, dan juga berupa refleksi dan interpretasi.
  2. Kontruktivisme berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus bebas.
  3. Belajar melalui alam dikarenakan penuh dengan kebebasan. Pelajar dapat mengungkapkan dan menginterpretasikan segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan disini berarti unsur esensial dari lingkungan bebas.
  4. Strategi yang digunakan menentukan keberhasilan.
  5. Motivasi dan usaha juga mempengaruhi.

Jika kita perhatikan, maka preposisi yang diajukan Suhardjono tersebut, sangat bernuansa pendidikan nonformal. Menurut UU Sisdiknas (20/2003) bagian Kelima pasal 26, ayat (2): Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Sementara itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) selaku salah satu penyelenggara pendidikan nonformal juga memegang teguh prinsi: DARI, OLEH DAN UNTUK MASYARAKAT. Hal ini menyiratkan secara jelas, bagaimana kebebasan berfikir, berbuat dan belajar telah dipraktekan secara nyata oleh pendidikan nonformal.

Selain itu, terdapat juga banyak praktek “kebebasan” atau kemerdekaan yang dilaksanakan oleh PKBM. Diantaranya:

  1. Penentuan jam/jadwal belajar, dilakukan bersama antara guru (tutor) dan murid (peserta didik). Dengan demikian, kondisi belajar diharapkan akan sangat kondusif, mengingat pelaksanaan pembelajaran dilakukan sesuai kebutuhan dan kesiapan waktu kedua belah pihak. Bukti kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk kontrak belajar.
  2. Pelaksanaan pembelajaran di pendidikan nonformal, khususnya PKBM tidak terikat oleh ruang dan waktu. “Semua tempat adalah sekolah” begitu kira-kira. Artinya kebebasan tempat ini juga senantiasa memberikan suasana fresh dan tidak mengkungkung.
  3. Tidak ada jarak antara tutor dengan peserta didik. Suasana belajar dalam PKBM relative lebih rilex, bersahabat dan tidak ada kesan menggurui. Alhasil proses belajarnya terlihat lebih demokratis dan diskusi terjalin lebih intens/baik.
  4. Pemilihan keterampilan yang akan diberikan didasarkan pada keinginan dan kebutuhan peserta didik. Artinya, tidak semua peserta didik mendapat pelatihan keterampilan yang sama. Peserta didik mengikuti pelatihan keterampilan yang sesuai minat dan/atau kebutuhannya. “Tidak ada paksaan dalam belajar”.
  5. Metode pembelajaran dalam PKBM juga tidak satu jenis. Terdapat minimal tiga metode belajar yang digunakan, yaitu tatap muka, tutor kunjung dan belajar mandiri. Setiap peserta didik bebas memilih metode yang akan digunakan. Jika mampu dengan belajar mandiri, maka peserta didik dibekali modul yang akan digunakan belajar mandiri. Ketika ada kesulitan, maka bias meminta tutor kunjung. Dan hasil belajar mandiri peserta didik ini akan diuji melalui kegiatan tatap muka bersama tutor.

Itulah beberapa KEMERDEKAAN BELAJAR yang sudah dan masih digunakan oleh pendidikan nonformal melalui PKBM. Maka dari itu, maka sejatinya, MERDEKA BELAJAR merupakan mekanisme belajar pendidikn nonformal yang diperbaharui.

Mengingat hal tersebut, maka jelas bahwa PKBM adalah penyelenggara pendidikan noformal. Oleh karena itu, seharusnya PKBM dicantumkan dalam draft UU Sisdiknas yang ditargetkan selesai pada 2023 tersebut.*

Catatan Kaki:

  1. Pemeringkatan tersebut dihimpun pada tahun 2021 dan dibentuk oleh unit perusahaan komunikasi dan The Wharton School dari University of Pennsylvania. Dilansir dari laman US NEWS, penelitian dilakukan dengan survei lebih dari 17.000 warga global dari empat wilayah untuk menilai persepsi dari 78 negara pada 76 metrik yang berbeda.
  2. Ivan Illich (4 September 1926 – 2 Desember 2002) adalah seorang filsuf Austriapastor Katolik Roma, dan seorang “pengkritik sosial yang tidak konvensional” dari lembaga-lembaga budaya Barat kontemporer dan pengaruhnya terhadap sumbernya serta dalam praktik pendidikan, kedokteran, kerja, penggunaan energi, transportasi, dan pembangunan ekonomi.

Daftar Pustaka:

________, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Kemedikbud RI,

_________, https://id.wikipedia.org/wiki/Ivan_Illich; diunduh pada Selasa (16/3), pukul 09.00 WIT

_________, https://www.detik.com/edu/edutainment/d-5849821/10-negara-dengan-kualitas-pendidikan-terbaik-nomor-1-siapa-ya; diunduh pada Selasa (16/3), pukul 09.00 WIT

_________, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/02/ruu-sistem-pendidikan-nasional-masih-tahap-perencanaan-kemendikbudristek-libatkan-publik diunduh pada Selasa (16/3), pukul 09.00 WIT

Anzhizan, Syafaruddin, 2004, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, Jakarta: Grasindo (Anggota IKAPI)


     
  

Leave a Reply