Oleh: Tri Fatchur Rohman (Widyaprada BP PAUD dan Dikmas Papua)
Minat baca masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan, oleh karenanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus berupaya meningkatkan minat baca masyarakat. Berdasarkan hasil sebuah studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti social yang dirilis pada bulan Maret 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2014 dan menempatkan Indonesia satu strip dibawah Thailad yang berda pada urutan ke 59 dan hanya unggul dari Bostwana (salah satu Negara di Afrika Selatan ) yang puas di posisi 61. Padahal dari segi penilaian infrasstruktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur Indonesia ada di urutan 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan.
Kenyataan ini, menunjukkan Indonesia masih sangat minim memanfaatkan infrastruktur. Jadi indikator sukses tumbuhnya minat atau budaya membaca tidak selalu dilihat dari seberapa banyak perpustakaan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), jumlah buku, dan mobil perpustakaan keliling dan lain sebaginya.
Survei serupa juga dilakukan oleh UNESCO, menunjukkan bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca, atau dapat juga diartikan di antara 250 juta penduduk Indonesia hanya 250 ribu orang yang punya minat baca.
Menilik pada data tersebut diatas tentunya menunjukkan bahwa minat baca atau budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan negera lain, bisa dikatakan Indonesia berada pada urutan nomor dua dari belakang soal minat baca. Situasi itu tentu saja menjadi catatan penting dalam dunia pendidikan di tanah air.
Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam rangka menggenjot minat baca adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. “Permendikbud itu diwujudkan dengan gerakan wajib membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai, khususnya bagi siswa SD, SMP atau SMA. Selain itu juga ada Gerakan Indonesa Membaca (GIM) dan program kampung literasi, yang telah menyasar 31 kabupaten, di 31 provinsi di Indonesia, Termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat. Target secara nasional kampung literasi hingga tahun 2019 mendatang adalah 514 kampung. Hingga saat ini baru terbentuk 31 kampung literasi di 31 kabupaten.
Sementara itu, berdasarkan hasil kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan yang saat ini telah berganti nomenkelatur menjadi Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) yang membawahi Subdit Keaksaraan dan Budaya Baca Kemendikbud, penilaian literasi terdiri dari atas tiga komponen, yakni literasi dasar, kompetensi dan kualitas karakter. Dari beberapa komponen penilaian tersebut nilai literasi dasar Indonesia masih sangat rendah. Literasi dasar yang meliputi baca tulis, berhitung, literasi sains, literasi informasi teknologi dan komunikasi, literasi keuangan dan literasi budaya.
Sejalan dengan kajian tersebut, beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab masih rendahnya budaya membaca pada masyarakat Indonesia antara lain (i) membaca belum menjadi sebuah gerakan budaya, (ii) rata-rata tingkat kemampuan membaca pada masyarakat Indonesia masih rendah, (iii) sulitnya memperoleh fasilitasi ketersediaan bahan bacaan oleh masyarakat, (iv) harga bahan bacaan dinilai masih terlalu mahal dijangkau oleh rata-rata masyarakat Indonesia, sementara kemampuan daya belinya masih relatif rendah, (v) tingginya budaya menonton yang dinilainya lebih praktis pada masyarakat sebagai akibat terjadinya lompatan dari budaya tutur (lisan) dan budaya literasi (membaca). Hasil survei Badan Pusat Statistik tentang minat baca dan menonton anak-anak Indonesia pada 2012 menunjukkan hanya 17,66 persen yang punya minat baca dan 91,67 persen yang memiliki minat menonton
Kondisi tersebut diatas tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia bagian barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah paling ujung timur Indonesia yaitu Papua yang juga dikenal dengan istilah Tanah Tabi , tanah atau wilayah matahari terbit. Jika di wilayah barat permasalahanya fokus pada minat atau budaya bacanya yang masih rendah, sedangkan keberadaan infrastruktur tidak lagi menjadi permasalahan utama karena sudah sebagian besar ada, tentu tidak demikian dengan wilayah timur Indonesia. Di di tanah Tabi Papua keduanya menjadi fokus permasalahan utama baik budaya baca masyarakat yang masih sangat rendah diperparah dengan ketidak adaan infrastruktur yang mendukung itu. Sehingga tidak salah apa yang disampaikan oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan pada Pada puncak peringatan hari aksara Internasional ke-50, di Abepura, Jayapura, Papua, 12 November 2015 mengatakan dari 11 Provinsi di Indonesia, Provinsi Papua masih sangat kurang minat membaca. Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip Provinsi Papua, Hans Hamadi “berdasarkan dari hasil survei yang dilakukan pihaknya, minat baca masyarakat di Papua hanya 0,1 persen tiap tahun. Padahal Kota Jayapura misalnya, disebut sebagai barometer pendidikan”
Di Kota Jayapura, seperti diberitakan tabloidjubi.com, 15 Februari 2016, Kepala Dinas Pendidikan Kota Jayapura, I Wayan Mudiyasa mengakui minat baca siswa rendah, bahkan Papua urutan terakhir di Indonesia. Pihaknya pun menyiasatinya dengan program 15 menit membaca sebelum pelajaran seperti yang diprogramkan Menteri Anis Baswedan. Dinas Pendidikan Kota Jayapura bahkan mendorong para siswa untuk membaca novel, cerpen dan surat kabar seperti koran, tabloid dan majalah.
Dari sisi infrastruktur memang Provinsi Papua diurutan belakang bila dibanding dengan provinsi lain di Indonesia, termasuk infrastruktur yang mendukung untuk tumbuhnya minat baca masyarakat. Jadi tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika minat baca masyarakatnya rendah karena fasilitas pendukungnya tidak ada.
Terkait hal tersebut diatas, masih oleh Hans Hamadi, yang menyatakan bahwa “Ironisnya, buku yang sekarang ada di perpustakaan adalah buku dari tahun 70-an. Sehingga minat orang datang keperpustakaan untuk membaca menjadi berkurang. Sehingga minat orang datang keperpustakaan untuk membaca menjadi berkurang” disamping itu “dari sisi fasilitas lain di dua Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua terkendala pada kekurangan fasilitas penunjang bila dibanding lainnya”
Pegiat literasi di Sekolah Menulis Papua sekaligus penulis novel “Cinta Putih di Bumi Papua”, Dzikry el Han berpendapat banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya minat baca di Papua. Faktor-faktor itu, antara lain: buku yang tidak memadai dan akses buku yang susah. Kalaupun ada, harganya mahal. Hanya kalangan tertentu saja yang menyempatkan berkunjung ke toko buku atau perpustakaan. Faktor lain, dan ini terjadi di seluruh Indonesia, karena lompatan budaya.
“Masyarakat kita belum mencintai dan menyadari pentingnya kegiatan membaca, tetapi sudah diburu masuk ke era teknologi informasi. Hasilnya ya seperti sekarang ini. Masyarakat terbuai oleh internet, media sosial dan semacam itu”.
Menurut Ana Lany (30 tahun) warga Perumnas III Waena, Kota Jayapura, yang dimuat dalam kabarpapua.co “harusnya untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, pemerintah daerah harus menyediakan fasilitas tempat membaca, sebab hal itu harusnya menjadi tanggungjawab pemerintah”
Bagaimana mau menyuruh orang membaca, tapi pemerintah tak meyediakan fasilitas yang mudah di jangkau untuk menumbuhkan minat baca. “Terutama pada anak dengan menyediakan sarana dan fasilitas di tempat umum yang mudah diakses, seperti buku cerita, dongeng, dan sejarah”
Hasil studi program-program pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh BP-PAUD dan DIKMAS Papua sebelumnya, terlihat bahwa masih banyak kelemahan dan kedala dalam penyelenggaraan program pendidikan masyarakat, tidak terkecuali Taman Bacaan Masyarakat. Setelah dilakukan pengkajian lebih mendalam ternyata hampir disemua segmentasi mengalamai kendala, artinya faktor penyebab tersebut tidak berdiri tunggal tetapi jamak dan saling mempengaruhi, diantaranya mulai dari peran pemerintah daerah yang kurang kaitanya dengan pendidikan masyarakat khususnya upaya-upaya yang berbasis gerakan untuk mendorong minata baca masyarakat, pemerintah daerah banyak memberikan program-program pemberdayaan ekonomi dengan melalaikan sisi pendidikan SDM yang harus dibangun, khususnya budaya literasinya.
Selain itu kendala tersebut adalah berasal dari sisi internal masyarakat itu sendidiri yaitu kesadaran akan pentingnya pendidikan utamnya budaya baca masyarakat masih sangat rendah sehingga motivasi untuk seantiasa belajar juga rendah, yang pada akhirnya berdampak pada tidak diminatinya atau stagnasi program-program pendidikan masyarakat yang dikembangkan oleh pemerintah, terlebih taman bacaan masyarakat.
Pemerintah dan juga masyarakat yang peduli akan literasi harus bergerak secara kontinu melakukan kajian mendalam untuk mengatahui secara empiris kebutuhan-kebutuhan mendasar dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat kaitanya untuk mengenjot budaya literasi, sehingga mampu diberikan solusi yang tepat guna dan berdaya guna. Disamping itu pembangunan infrastruktur juga perlu dibarengi dengan pembangunan sebuah gerakan untuk mengkampanyekan budaya literasi, karena pembangunan fasilitas pendukung tanpa dibarengi dengan pembangunan dan penumbuhan budaya literasi tentu akan menjadi hal yang mubazir. Perpustakaan disemua lembaga didirikan, taman-taman bacaan dibangun di berbagai macam tempat namun budaya baca tidak bertumbuh tentu fasilitas yang dabangun tadi tidak ada yang mengakses dan pada akhirnya akan mati yang kemudian budaya literasi masyarakat Indonesia, khususnya Papua tetap rendah atau bahkan makin rendah dari sebelumnya.
Perlu kerja nyata dan kerjasama semua komponen masyarakat dan juga pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mengubah maindset masyarakat yang sudah terkooptasi dalam zona nyaman mereka. Mengubah dan menumbuhkan minat baca apalagi hingga menjadi budaya memang tugas yang berat, namun hal tersebut bukan sebuah kemustahilan untuk bisa dilakukan. Ketika semua steakhoder mau turun tangan dan konsekuen serta konsisten untuk mengatasi permasalahan rendahnya minat baca masyarakat, jika hal tersebut terjadi maka apa yang menjadi cita-cita bersama tadi, yaitu tumbuhnya budaya literasi akan terwujud di Indoensia dan khususnya di bumi kenambai-umbai Papua dalam waktu yang tidak lama tentunya.(fatchur)