Kembalinya pendidikan kesetaraan ke pangkuan  PAUDNI menyisakan tugas untuk  mewujudkan pendidikan paket ini benar-benar setara dengan pendidikan formal

Perubahan nomenklatur dari PAUDNI menjadi Ditjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat menjadi perbincangan hangat pada setiap kesempatan. Bahkan tebak-menabak singkatanpun menjadi tranding topik.Ada yang menerka akan disingkat PAUDMAS (dengan logat Jawa) atau ada pula yang menebak akan menjadi PAUD-Dikmas. Yah, apapun nomenklatur dan singkatannya, substansinya tetap sama: Pendidikan Nonforrmal.

Sukacita yang kedua adalah kembalinya “saudara tua”, pendidikan kesetaraan ke PAUDNI (atau PAUD-Dikmas nantinya). Pendidikan paket yang sebelumnya ditangani oleh pendidikan formal ini akan kembali menjadi program PAUDNI. Ini adalah berita menggembirakan, tetapi sekaligus mengkhawatirkan.

Kenapa?Terutama adalah terkait prestise dari pendidikan kesetaraan.

Banyak pihak yang memandang rendah lulusan pendidikan paket. Meskipun mereka tidak bisa menutup mata akan banyaknya alumni yang berhasil. Baik pada jenjang pendidikan formal (selanjutnya) ataupun dalam dunia usaha.

Karena itu, ketika pendidikan paket berada dalam pengawasan pendidikan formal, ada satu harapan yang muncul: pendidikan paket akan betul-betul dianggap sama atau paling tidak setara dengan pendidikan formal. Harapan yang nantinya akan dapat menempatkan pendidikan paket bukan sebagai batu loncatan, tetapi betul-betul menjadi alternatif pendidikan. Karena ketika dibawah tanggungjawab bidang pendidikan formal, masyarakatpun akan memandang pendidikan paket layaknya pendidikan formal. Itulah sisi prestisiusnya.Memang bukan prestasi substansial. Tetapi dengan membaiknya anggapan masyarakat terhadap program ini, diharapkan akan mampu memotivasi penyelenggara untuk meningkatkan prestasi, terutama dari segi substansi.

Dan sekarang, ketika kembali ke PAUDNI, akankah usaha peningkatan prestasi tersebut dapat dipertahankan? Ataukah akan membiarkan masyarakat kembali memandang program ini sebagai pilihan karena “terpaksa”?

Tidak dipungkiri, bahwa meski sederet prestasi telah ditorehkan PAUDNI dan penyelenggara programnya, masyarakat tetap menganggap sekolah (institusi pendidikan formal), sebagai satu-satunya penyelenggara pendidikan yang kredibel dan terpercaya.Meski demikian, bukan mustahil untuk membuat program pendidikan paket menjadi lebih baik.Walaupun tidak mungkin mendandani Saudara Tua ini seperti pendidikan formal.

Alasannya yang pertama, karakteristik peserta didik yang sangat jauh berbeda dengan peserta pendidikan formal.Peserta pendidikan formal atau lebih dikenal sebagai siswa adalah orang yang memang menyiapkan diri, biaya dan waktunya untuk sekolah. Sehingga mereka bisa mengabaikan hal lain. Sementara pendidikan paket, adalah orang-orang yang berkeinginan mendapat pendidikan, namun terkendala banyak hal.Seperti waktu dan biaya. Dan mereka tidak bisa mengabaikan hal lain (taruhlah pekerjaan) untuk sekolah.

Yang kedua adalah usia. Peserta pendidikan formal adalah mereka yang memang masih berada pada usia sekolah (7 s/d 18 tahun). Sementara untuk paket, adalah mereka yang usianya tertinggal karena kesempatan dan berbagai kendala tersebut.

Yang ketiga, tentu saja persoalan waktu.Peserta paket cenderung tidak menyediakan waktu khusus untuk pendidikannya. Hal ini karena mereka terbentur pemenuhan kebutuhan lain, misalnya bekerja. Sementara pendidikan formal malah menyediakan waktu hampir 12 jam setiap hari hanya untuk pendidikan.

Hal-hal tersebut menjadi penyebab pendidikan paket tidak bisa 100% menjiplak pendidikan formal.Namun demikian, banyak hal yang masih mungkin dilakukan untuk mendandani program ini.

Pertama, kita mulai dari proses pendaftaran.

Untuk mewujudkan program pendidikan kesetaraan “setara” dengan pendidikan formal, (setidaknya dalam pandangan masyarakat), hendaknya peserta didaftar sejak awal tahun ajaran.Ini juga guna menghindari anggapan bahwa peserta paket hanya mendaftar menjelang ujian.Akhirnya masyarakatpun menganggap pendidikan paket hanya sebagai “jalan pintas” mendapat ijasah, tanpa belajar.

Kedua, waktu pembelajaran.

Perberlakuan waktu belajar seperti pendidikan formal tentu sangat tidak tepat. Pasalnya, kebutuhan pendidikan adalah kebutuhan kesekian bagi mereka setelah pemenuhan berbagai kebutuhan lain. Misalnya setelah kebutuhan ekonomi. Alhasil, waktu pembelajaran mereka haruslah mengambil waktu disela-sela kerja mereka. Misalnya pada malam hari. Tentu semua harus dilakukan melalui kesepakatan

Ketiga, metode.

Persoalan waktu menjadi penyebab harus ada metode khusus bagi mereka.Setidaknya ada tiga metode yang coba penulis tawarkan.

  1. Metode tatap muka

Metode ini merupakan metode yang paling dianjurkan, sepanjang waktunya berasal dari kesepakatan bersama.Metode ini dilaksanakan layaknya pendidikan formal, yakni terjadwal dan bersifat tetap.Tidak harus satu minggu full atau lima/enam hari dalam seminggu.Tapi mungkin cukup dua atau tiga hari seminggu.Waktunyapun disesuaikan. Tidak harus lima atau enam jam sekali pertemuan. Tapi mungkin cukup tiga atau empat jam saja. Intinya, semua harus disepakati, terjadwal dan berlaku terus-menerus.Dalam tatap muka ini, peserta mengikuti pembelajaran layaknya pendidikan formal.Peserta juga harus diabsen.Tingkat kehadiran, keaktifan dan keseriusan peserta dalam pertemuan menjadi salah satu pertimbangan untuk mengikuti ujian.

  1. Metode tutor kunjung

Metode tutor kunjung adalah metode yang memerlukan kerja keras tutor/guru. Metode ini dapat dilakukan melalui kunjungan pada setiap peserta dengan jadwal sendiri-sendiri.Namun untuk efektif, lebih baik setiap peserta dibentuk dalam kelompok sesuai ketersediaan waktu masing-masing.Tempat kumpulnya ditentukan berdasarkan kesepakatan.Pada saat kunjungan, dilakukan pembelajaran dengan tatap muka.

  1. Metode belajar mandiri

Diantara metode yang ditawarkan tersebut, metode ini merupakan metode “paling mahal”.Bagaimana tidak, metode ini mengharuskan penyelenggara menyediakan buku paket pembelajaran sebanyak peserta yang ada.Dalam metode ini, setiap peserta diberikan buku paket untuk dibawa pulang dan dipelajari sendiri.Setelahnya, mungkin satu bulan sekali harus dilakukan pertemuan.Metode ini tidak dianjurkan. Karena selain mahal, metode ini akan lebih sulit untuk mengukur tingkat pemahaman, memantau keseriusan dan kesungguhan serta menilai perkembangan belajar peserta. Dan karena intensitas pertemuan yang jarang, tutor juga akan lebih sulit melaksanakan intervensi dan penanaman nilai kepada peserta.

Berbagai upaya tersebut, mungkin tidak mampu membuat pendidikan kesetaraan menorehkan prestasi seperti pendidikan formal.Namun bagaimanapun, usaha untuk itu harus tetap dilaksanakan. Dengan demikian tujuan menjadikan pendidikan nonformal setara dan menjadi salah satu alternatif penddidikan akan terwujud. *)


     
  

Leave a Reply